Seminar Budaya Bersurung Saprah Di Singkawang

Kalimantanpost.online,-Tradisi saprahan atau makan besaprah merupakan salah satu tradisi budaya Melayu yang mengandung nilai-nilai kesetaraan, seperti kebersamaan, gotong royong, dan solidaritas sosial.
Sebagaimana yang dilaksanakan di kota Singkawang melalui Pekan Kebudayaan Daerah mengadakan Seminar Budaya Bersurung Saprah yang dilaksanakan oleh Majelis Adat Budaya Melayu Kota Singkawang (MABM) di Gedung melayu jalan Alianyang Singkawang.
Kegiatan tersebut dibuka langsung oleh H.Asmasi,S.pd, M.Si sebagai Ketua MABM kota singkawang mengatakan bahwa " Solidaritas sosial Setiap individu yang terlibat dalam tradisi saprahan tidak berorientasi pada profit, tetapi pada rasa kekeluargaan dan solidaritas sosial yang sangat kental dan mengandung nilai-nilai lain, seperti Nilai religi, Sopan santun, Keramahtamahan, Kesetiakawanan sosial, Persaudaraan, Penghargaan kepada orang lain, Kesederhanaan, Silaturahmi. Maka dari itu seminar saat ini di beri temma "Budaya Bersurung Saprah".Ungkap H.Asmadi saat ditemui awak media diruang seminar.
 
Ia juga menjelaskan bahwa Tradisi saprahan biasanya dilakukan pada acara perkawinan, tepung tawar, sunatan, pindah rumah, dan lain-lain. Saprah itu sendiri artinya ‘berhampar, yakni budaya makan bersama dengan cara lesehan atau bersila secara berkelompok dalam satu barisan. Biasanya satu kelompok terdiri dari enam orang yang duduk saling berhadapan sebagai suatu kebersamaan."Jelasnya.

Pada prinsipnya tradisi saprahan adalah tradisi adat rumpun Kerajaan Melayu, termasuk di Sambas. Tradisi ini juga berlaku di Pontianak, Singkawang, Mempawah, atau daerah lain yang masih kental budaya Melayu."Jelasnya lagi.

Berkaitan dengan tata cara makan, tidak ada aturan tertulis untuk tata cara makannya, menghidang, dan menu hidangan yang sedianya disajikan, tetapi tetap ada etika dan kekhasan yang dijaga. Khusus saprahan di Sambas, sajian saprahan tetap ada menu nasi sebagai menu utama. Selain menu utama itu, terdapat lauk-pauk sapi, ikan, dan sayur-mayur.

Biasanya, saprahan diadakan ketika ada acara pernikahan, syukuran, atau selamatan maupun tahlilan. Tamu yang hadir di acara saprahan biasanya diundang oleh yang punya hajat, atau tetua kampung secara lisan. Mereka mengistilahkan dengan ‘nyaro’. Asal kata ‘nyaro’ berasal dari kata saroan yang artinya memanggil atau mengundang.

Memang budaya sudah semakin maju, termasuk adanya media komunikasi melalui ponsel. Bisa jadi undangan pun sudah menggunakan media ini. Namun, di kampung dagang timur Sambas, yakni sebuah kampung yang berada di sisi kiri Sungai Sambas, Kota Sambas, tradisi ‘nyaro’ itu masih kuat sekali. Demikian pula yang ditemui hampir di semua daerah pantai utara terutama di desa-desa, dusun, atau perkampungan di Sambas.

Sebagai sebuah tradisi, Saprahan yang berupa jamuan makan yang melibatkan banyak orang dan duduk dalam satu barisan, saling berhadap-hadapan, serta duduk satu kebersamaan, tentu mengingatkan kita pada filosofi “berat sama dipikul, ringan sama dijinjing” atau “berdiri sama tinggi, duduk sama rendah”.ungkapnya menutup wawancara.

Penulis.Jbs

Belum ada Komentar untuk "Seminar Budaya Bersurung Saprah Di Singkawang"

Posting Komentar