MABM Singkawang dan LBH Rakha Gelar Semiloka “Problematika Anak Berhadapan dengan Hukum: Antara Keadilan dan Perlindungan”
Kalimantanpost.online — Dalam waktu dekat, Majelis Adat Budaya Melayu (MABM) Kota Singkawang bersama Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Rakha akan menyelenggarakan Semiloka bertema “Problematika Anak yang Berhadapan dengan Hukum ; Antara Keadilan dan Perlindungan” di Gedung Melayu, Jl. Alianyang, Kota Singkawang.
Dalam wawancara eksklusif awak media KP dengan Ketua LBH Rakha, Roby Sanjaya, S.H., pada Selasa (14/10/2025) menjelaskan bahwa kegiatan ini merupakan program kerja dari Divisi Penelitian dan Pengembangan LBH Rakha yang diketuai Joko, “Saya sebagai Ketua LBH Rakha memberikan dukungan penuh terhadap program ini yang merupakan kegiatan kedua yang bekerja sama dengan MABM Singkawang dan LBH Rakha yang mana sebelumnya melaksanakan semiloka bertema "Selamatkan Anak Usia Sekolah dari Kejahatan Seksual " pada tanggal. 6 November 2024 dan para peserta Semiloka adalah kepala sekolah mulai dari tingkat SD, SLTP, hingga SMA se-Kota Singkawang,” ujar Roby menjelaskan.
Roby juga menjelaskan bahwa Anak yang Berhadapan dengan Hukum adalah salah satu Issu yang Mendesak. Istilah Anak yang Berhadapan dengan Hukum (ABH) mencakup anak yang berstatus sebagai pelaku, korban, maupun saksi dalam tindak pidana. Keberadaan mereka dalam sistem peradilan menghadirkan persoalan kompleks yang menuntut penanganan berimbang antara penegakan hukum dan perlindungan hak-hak anak dengan karakter psikologis dan tingkat kematangan yang berbeda dari orang dewasa, pendekatan yang lebih restoratif sangat diperlukan." ungkap Roby menjelaskan.
Dalam menyikapi hal tersebut ada beberapa hal yang harus kita pahami:
1. Stigmatisasi dan Trauma Psikososial
ABH kerap menghadapi stigma sosial setelah melalui proses hukum. Pelabelan negatif seperti “anak nakal” atau “mantan narapidana” berdampak pada pendidikan, masa depan, dan hubungan sosial mereka.
Dari sisi psikologis, proses hukum yang intimidatif serta lingkungan penahanan yang jauh dari keluarga dapat memicu trauma, kecemasan, hingga depresi. Tanpa dukungan psikososial yang memadai, kondisi ini berpotensi menghambat perkembangan dan memicu residivisme di kemudian hari.
2. Tantangan Implementasi Sistem Hukum
Meskipun Undang-Undang Sistem Peradilan Pidana Anak (UU SPPA) telah diberlakukan dan pemahaman aparat penegak hukum pada dasarnya sudah cukup baik, implementasinya masih terkendala oleh faktor teknis dan sosial di lapangan.
Diversi belum berjalan optimal bukan karena ketidaktahuan aparat, tetapi lebih disebabkan oleh keterbatasan sarana pendukung serta penolakan dari pihak korban atau keluarga.
Pendampingan anak masih menghadapi hambatan teknis—seperti minimnya psikolog, pekerja sosial, dan penasihat hukum anak yang tersedia secara cepat dan merata.
Lembaga pembinaan anak (LPKA/LPAS) masih kekurangan fasilitas rehabilitasi, pendidikan, dan pelatihan keterampilan yang relevan.
Penguatan Kebijakan dan Peran Masyarakat
Upaya perlindungan terhadap Anak yang Berhadapan dengan Hukum tidak dapat hanya bertumpu pada aparat penegak hukum. Diperlukan penguatan regulasi dan keterlibatan semua lapisan masyarakat, melalui beberapa langkah berikut:
Pengaturan dan pengawasan jam malam bagi anak dan remaja, disertai payung hukum serta dukungan anggaran dari pemerintah daerah.
Kontrol dan pengawasan keluarga, terutama orang tua atau wali, untuk memastikan lingkungan rumah menjadi ruang aman dan komunikatif bagi anak.
Peran masyarakat dan tokoh lokal seperti RT/RW, tokoh adat, dan tokoh agama, dalam mencegah potensi kenakalan serta menciptakan ekosistem sosial yang peduli.
Penguatan peran sekolah dan guru, khususnya dalam:
deteksi dini perilaku menyimpang,
pencegahan bullying,
pembinaan karakter dan literasi hukum anak,
koordinasi dengan orang tua dan aparat jika terjadi insiden.
Anak usia sekolah adalah kelompok paling rentan mengalami maupun melakukan pelanggaran hukum. Karena itu, peran pendidik tidak hanya sebagai pengajar, tetapi juga pengawas, mediator, dan pelindung di lingkungan satuan pendidikan.
3. Hak-Hak Dasar Anak yang Belum Terpenuhi
Terlepas dari status hukumnya, anak berhak atas perlindungan, tumbuh kembang, pendidikan, dan partisipasi.
Hak pendidikan kerap terputus selama proses hukum atau masa pidana.
Hak partisipasi sering terhambat karena anak merasa takut atau tidak memahami proses hukum.
Rehabilitasi dan reintegrasi belum sepenuhnya didukung program komprehensif, sehingga anak kesulitan kembali diterima di masyarakat.
Selain itu semua, Roby juga berharap dengan dilaksanakannya Semiloka ini dapat Menuju Sistem Hukum yang Restoratif dan Ramah Anak
Penyelesaian problematika ABH membutuhkan kolaborasi pemerintah, aparat penegak hukum, pekerja sosial, dan masyarakat. Pendekatan harus bergeser dari penghukuman ke keadilan restoratif yang mengedepankan pemulihan, tanggung jawab, dan rekonsiliasi." jelas Roby.
Selain itu Beberapa langkah strategis yang perlu diperkuat:
Peningkatan kapasitas aparat melalui pelatihan psikologi anak, wawancara ramah anak, dan pemahaman UU SPPA.
Optimalisasi diversi dengan dukungan fasilitas dan pendampingan yang efektif.
Penguatan lembaga pembinaan melalui layanan pendidikan, rehabilitasi, dan pembinaan sosial.
Edukasi publik untuk mengurangi stigma dan meningkatkan penerimaan terhadap anak yang telah menjalani pembinaan."ungkap Roby memaparkan.
Dengan menempatkan kepentingan terbaik anak sebagai prinsip utama, sistem hukum dapat menjadi ruang perlindungan, pembinaan, dan pemberdayaan bukan sekadar sarana pemidanaan. Setiap ABH berhak mendapatkan kesempatan kedua untuk tumbuh menjadi individu yang bertanggung jawab dan produktif."jelas Roby sekaligus menutup wawancara
Penulis: Arie.P/jbs
Belum ada Komentar untuk "MABM Singkawang dan LBH Rakha Gelar Semiloka “Problematika Anak Berhadapan dengan Hukum: Antara Keadilan dan Perlindungan”"
Posting Komentar